Gerilya Bawah Tanah atau yang dikenal dengan “GBT”, adalah sebuah media ekspresi bebas yang diorganisir secara kolektif, bebas dan setara. Dimana seluruh individu yang ada didalamnya (tanpa membedakan apa siapa dan darimana ia berasal), adalah sebagai pelaku aktif yang secara sadar telah bersama-sama dengan yang lainnya turut serta membangun tradisi GBT. Proses kemandirian, kolektifitas, kebersamaan, kesederhanaan dan tidak bertujuan untuk mencari keuntungan (non-provit ) adalah semangat yang (kurang lebih 11 tahun sejak event ini digelar di akhir 1998) tetap dipertahankan hingga sekarang.
Gerilya Bawah Tanah pertamakali digagas dan dikoordinir oleh komunitas anak muda dari berbagai kampung di jember yang bernama “Total Riot Community”. Komunitas ini terbentuk di akhir tahun 1995 setelah bergabungnya remaja dari berbagai kampung diantaranya kampung gebang, arjasa, tembaan, kebonsari, pagah, kreongan dan banyak lagi lainnya berkumpul bersama para mahasiswa yang sebelumnya aktif dalam komunitas musik indie dengan nama awal “Punkernative”. Di masa yang masih sangat diskriminatif ini, sekat yang memisahkan antara remaja pinggiran (kampung) dan remaja terpelajar (mahasiswa) akhirnya runtuh. Ambruknya tembok pemisah ditandai dengan sebuah event bernama “Pentas Alternative 12 Jam” di sebuah lapangan rumput yang dulu berada di belakang gedung PKM jember pada tahun 1996. Setelah itu para pekerja seni di komunitas ini aktif bergerilya di acara acara kampus baik itu festival, jambore, dan banyak lagi acara provit berkedok musik lainnya. Di masa orba, seni dan musik seolah telah diseragamkan dengan bentuk-bentuk festival dimana tiap2 pesertanya dipaksa memainkan lagu wajib yang ditentukan panitia demi kepentingan promosi oleh para sponsor. Kesempatan untuk berekspresi akhirnya juga hanya dimiliki sebagian kecil band (terutama yang telah mempunyai jam terbang tinggi dan modal besar) saja yang lagi-lagi dengan alasan layak jual-lah yang banyak mengisi acara musik di berbagai universitas di jember.
Band-band yang ada di dalam komunitas ini secara bergantian menyusupkan diri pada berbagai acara tersebut dengan cara mengganti – ganti nama band untuk menghindari pencekalan dari para event organizer (organisasi musik dan seni kampus) dan berpatungan agar bisa membayar uang pendaftaran yang sangat mahal. Muak atas kondisi musik dan seni yang sangat monoton dan diskriminatif itulah yang membuat anak-anak muda ini bertekad untuk membangun sebuah event yang mandiri dan bebas kepentingan. Diskusi demi diskusi pun dimulai di pinggiran jalan, trotoar pojok matahari plaza, hingga bergantian dari kampung satu ke tempat yang lainnya. Setiap minggu disisihkan uang receh yang didapat dari sisa uang saku, kembalian rokok ataupun hasil dari beberapa kawan yang waktu itu bekerja mengamen di lampu-lampu merah. Hingga kurang lebih pengumpulan dana ini dilakukan selama 2 tahun (setelah 12 Jam Pentas Alternative tahun 1996 hingga akhir 1998), juga dibantu oleh beberapa usaha kecil yang kebetulan juga mendukung ide dan cita-cita ini. Aktifitas kumpul tiap malam minggu ini berlanjut dengan kegiatan saling bertukar informasi dengan memfotocopy newsletter, kaset dan buku – buku bacaan.
Event “Gerilya Bawah Tanah” #1 berlangsung di sebuah gudang kecil di UNMUH Jember pada tahun 1998, sebagai protes dan kritik budaya atas dikuasainya akses media dan ruang ekspresi seni oleh para korporasi dan event organizer. Dengan mengusung tema “Equality” / Semua Setara , walaupun hanya dengan alat-alat dan sound murah namun mampu membangkitkan semangat dan kebersamaan di antara para pekerja seni pinggiran ini untuk tetap eksis dan mandiri. Setahun setelah sukses “GBT#1”, kolektif Total Riot Community akhirnya fakum dan bubar di kisaran tahun 1999 setelah aksi menolak kekerasan militer pada ulang tahun ABRI di bubarkan dengan represif. Bahkan beberapa orang tak dikenal terlihat menggeledah dan mengambil beberapa buku dan catatan hasil diskusi di tempat berkumpulnya kawan-kawan TRC di Mastrip 11 (M11). Kejadian ini membuat banyak orang menjadi khawatir, beberapa memilih sembunyi di kampung masing-masing sedangkan yang lainnya meneruskan sekolah, kuliah ataupun ada juga yang pergi ke kota-kota lain dan mencari pekerjaan tetap.
Kemandirian ini berlanjut pada “Gerilya Bawah Tanah” #2 di gedung Soetarjo di tahun 2003, dengan bekerja sama dengan UKM Kesenian Jember. Bertemakan “Jember Anti Kekerasan” / Stop Violence, GBT2 mengkampanyekan budaya saling menghargai perbedaan dan mencintai sesama umat manusia. Tema ini memang sengaja diangkat setelah berbagai kekerasan terjadi hampir di seluruh Indonesia, baik itu kekerasan aparat terhadap aksi demonstrasi maupun kekerasan yang bersifat rasial seperti tragedi sampit, pembakaran gereja di berbagai tempat dan banyak lagi tragedi kemanusiaan yang lainnya. Sukses “GBT#2”, membuat beberapa orang yang sebagian besar adalah mantan anggota “TRC” kembali berkumpul dan membentuk komunitas baru bernama “FREPASS” (Forum Remaja Pasifist). Komunitas ini kemudian kembali aktif mengadakan diskusi dari rumah ke rumah dan beberapa kali terlibat aksi demonstrasi di berbagai tempat di jember bahkan sempat bergabung dengan kawan –kawan di Malang turun ke jalan memprotes globalisasi di sebuah gerai Mc Donald di kawasan alun-alun kota Malang.
Gerilya Bawah Tanah pertamakali digagas dan dikoordinir oleh komunitas anak muda dari berbagai kampung di jember yang bernama “Total Riot Community”. Komunitas ini terbentuk di akhir tahun 1995 setelah bergabungnya remaja dari berbagai kampung diantaranya kampung gebang, arjasa, tembaan, kebonsari, pagah, kreongan dan banyak lagi lainnya berkumpul bersama para mahasiswa yang sebelumnya aktif dalam komunitas musik indie dengan nama awal “Punkernative”. Di masa yang masih sangat diskriminatif ini, sekat yang memisahkan antara remaja pinggiran (kampung) dan remaja terpelajar (mahasiswa) akhirnya runtuh. Ambruknya tembok pemisah ditandai dengan sebuah event bernama “Pentas Alternative 12 Jam” di sebuah lapangan rumput yang dulu berada di belakang gedung PKM jember pada tahun 1996. Setelah itu para pekerja seni di komunitas ini aktif bergerilya di acara acara kampus baik itu festival, jambore, dan banyak lagi acara provit berkedok musik lainnya. Di masa orba, seni dan musik seolah telah diseragamkan dengan bentuk-bentuk festival dimana tiap2 pesertanya dipaksa memainkan lagu wajib yang ditentukan panitia demi kepentingan promosi oleh para sponsor. Kesempatan untuk berekspresi akhirnya juga hanya dimiliki sebagian kecil band (terutama yang telah mempunyai jam terbang tinggi dan modal besar) saja yang lagi-lagi dengan alasan layak jual-lah yang banyak mengisi acara musik di berbagai universitas di jember.
Band-band yang ada di dalam komunitas ini secara bergantian menyusupkan diri pada berbagai acara tersebut dengan cara mengganti – ganti nama band untuk menghindari pencekalan dari para event organizer (organisasi musik dan seni kampus) dan berpatungan agar bisa membayar uang pendaftaran yang sangat mahal. Muak atas kondisi musik dan seni yang sangat monoton dan diskriminatif itulah yang membuat anak-anak muda ini bertekad untuk membangun sebuah event yang mandiri dan bebas kepentingan. Diskusi demi diskusi pun dimulai di pinggiran jalan, trotoar pojok matahari plaza, hingga bergantian dari kampung satu ke tempat yang lainnya. Setiap minggu disisihkan uang receh yang didapat dari sisa uang saku, kembalian rokok ataupun hasil dari beberapa kawan yang waktu itu bekerja mengamen di lampu-lampu merah. Hingga kurang lebih pengumpulan dana ini dilakukan selama 2 tahun (setelah 12 Jam Pentas Alternative tahun 1996 hingga akhir 1998), juga dibantu oleh beberapa usaha kecil yang kebetulan juga mendukung ide dan cita-cita ini. Aktifitas kumpul tiap malam minggu ini berlanjut dengan kegiatan saling bertukar informasi dengan memfotocopy newsletter, kaset dan buku – buku bacaan.
Event “Gerilya Bawah Tanah” #1 berlangsung di sebuah gudang kecil di UNMUH Jember pada tahun 1998, sebagai protes dan kritik budaya atas dikuasainya akses media dan ruang ekspresi seni oleh para korporasi dan event organizer. Dengan mengusung tema “Equality” / Semua Setara , walaupun hanya dengan alat-alat dan sound murah namun mampu membangkitkan semangat dan kebersamaan di antara para pekerja seni pinggiran ini untuk tetap eksis dan mandiri. Setahun setelah sukses “GBT#1”, kolektif Total Riot Community akhirnya fakum dan bubar di kisaran tahun 1999 setelah aksi menolak kekerasan militer pada ulang tahun ABRI di bubarkan dengan represif. Bahkan beberapa orang tak dikenal terlihat menggeledah dan mengambil beberapa buku dan catatan hasil diskusi di tempat berkumpulnya kawan-kawan TRC di Mastrip 11 (M11). Kejadian ini membuat banyak orang menjadi khawatir, beberapa memilih sembunyi di kampung masing-masing sedangkan yang lainnya meneruskan sekolah, kuliah ataupun ada juga yang pergi ke kota-kota lain dan mencari pekerjaan tetap.
Kemandirian ini berlanjut pada “Gerilya Bawah Tanah” #2 di gedung Soetarjo di tahun 2003, dengan bekerja sama dengan UKM Kesenian Jember. Bertemakan “Jember Anti Kekerasan” / Stop Violence, GBT2 mengkampanyekan budaya saling menghargai perbedaan dan mencintai sesama umat manusia. Tema ini memang sengaja diangkat setelah berbagai kekerasan terjadi hampir di seluruh Indonesia, baik itu kekerasan aparat terhadap aksi demonstrasi maupun kekerasan yang bersifat rasial seperti tragedi sampit, pembakaran gereja di berbagai tempat dan banyak lagi tragedi kemanusiaan yang lainnya. Sukses “GBT#2”, membuat beberapa orang yang sebagian besar adalah mantan anggota “TRC” kembali berkumpul dan membentuk komunitas baru bernama “FREPASS” (Forum Remaja Pasifist). Komunitas ini kemudian kembali aktif mengadakan diskusi dari rumah ke rumah dan beberapa kali terlibat aksi demonstrasi di berbagai tempat di jember bahkan sempat bergabung dengan kawan –kawan di Malang turun ke jalan memprotes globalisasi di sebuah gerai Mc Donald di kawasan alun-alun kota Malang.
(bersambung)
sip maju terus rek....
BalasHapusyang kompak selalu y,..
persaudaraan air,api,tanah,dan udara
arga...